07 September 2009

ARI MUNANDAR : SATU-SATUNYA EXECUTIVE CHEF ASIA DI EROPA


Koki asal Korea Selatan itu berusia di kisaran 30 tahun dan bekerja di satu hotel di Praha. Suatu hari ia meminta bertemu dengan Ari Munandar, ahli masak kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah, yang sekarang memimpin pasukan koki di Hotel Hilton Praque Old Town, Praha, Republik Cek.

Tanpa basa-basi ia mengatakan ingin direkrut dan bekerja di bawah Ari, yang jabatan resminya biasa disebut executive chef atau chef de cuisine. Mengapa? "Karena Anda satu-satunya executive chef dari Asia di Eropa," begitu Ari menirukan ucapan koki Korea Selatan itu kepada dirinya.

Executive chef merupakan jabatan sangat bergengsi, apalagi di jaringan hotel top seperti Hilton. Ari, yang baru berusia 37 tahun, sebelumnya tidak pernah berpikir ia satu-satunya executive chef asal Asia di hotel berbintang lima di Eropa. Tapi, setelah ia coba mencari tahu, ucapan koki Korea itu mungkin benar.

Tidak ada nama Asia—termasuk dari Jepang—yang menjadi executive chef di hotel prestisius di Eropa. "Kecuali di Amsterdam, mungkin," kata Ari. Di Amsterdam, ada beberapa koki top asal Indonesia. Wajar bila Ari menepuk dada. Lebih bangga lagi karena sekitar tiga bulan silam, saat mulai pindah ke Zinc di Hilton Praque Old Town, ia masuk berita di media massa setempat. Sebelum Ari masuk, Hilton memiliki restoran bernama Maze yang dikelola koki top yang bahkan sudah menjadi pesohor di Inggris,

Gordon Ramsay. Tiba-tiba saja Ramsay menarik Maze dari Hilton sehingga mereka meminta Ari pindah
ke tempat mereka. Saat proses perpindahan Ari ke Hilton, tanpa diduga Maze—yang sudah akan ditutup—mendapat bintang Michelin. Anugerah ini penghargaan paling bergengsi dunia bagi sebuah rumah makan. Di Republik Cek, sebelum Maze, hanya ada satu rumah makan yang mendapat bintang Michelin, yakni di Hotel Four Seasons.

Tak mengherankan, media Republik Cek tertarik mendengar kabar ini. "Mereka penasaran," kata Ari, "seperti apa nantinya (restoran di Hilton Praque Old Town di bawah saya)." Publik Praha sesungguhnya tidak terlalu asing dengan Ari. "Saya sudah punya nama di sini," kata Ari. Ketenaran itu ia dapat saat selama tiga
tahun sebelumnya menjadi executive chef di Mandarin Oriental Praha. Jabatan bergengsi di Mandarin Oriental didapat sesaat setelah ia mulai bekerja di sana pada 2006. Saat masuk ke Mandarin Oriental, ia menjadi sous chef de cuisine alias wakil kepala koki. Hanya dua bulan bekerja, executive chef tempat itu mengundurkan diri.

Manajemen Mandarin Oriental berkata kepada Ari, "Kami coba Anda menjadi pejabat executive chef." Ternyata, selama beberapa bulan dicoba, kerja Ari sangat bagus sehingga ia resmi diangkat memimpin dapur hotel itu.

Sebagai pemimpin dapur, Ari kadang memasukkan beberapa resep Indonesia ke menu rumah makan. Apalagi Mandarin Oriental memang berciri Timur sehingga dengan gampang Ari menyisipkan menu Indonesia, seperti mi goreng atau sop buntut.

Saat duduk di bangku sekolah menengah atas di Purwokerto, Ari tidak pernah membayangkan menjadi koki. Kelemahannya di pelajaran, seperti matematika dan kimia, membuatnya memutuskan masuk sekolah pariwisata di Bandung. Lantaran tidak pernah membayangkan bakal menjadi koki—meski ibunya sempat berusaha katering kecil-kecilan di Purwokerto—ia memilih bidang manajemen perhotelan sebagai pilihan pertama dan dapur untuk pilihan kedua. "Ternyata saya diterima di kitchen," katanya.

Selesai kuliah pada 1992, ia langsung magang di Hotel Hilton di London selama setahun dengan sekitar
10 teman. Sepulangnya, ia bekerja di Hotel Hilton di Bali. Saat atasannya memberi tahu ada peluang kerja sebagai koki di Sun City, Afrika Selatan, Ari langsung menyambarnya. Dua tahun di Sun City, kota yang namanya sering dipelesetkan sebagai "Sin City" karena menjadi Las Vegas-nya Afrika, Ari pindah ke Hilton di ibu kota Republik Cek, Praha. Pada 2006, karier Ari naik dengan menjadi orang kedua—dan
kemudian pemimpin—dapur Hotel Mandarin Oriental.

Nasib baik itu tidak datang dengan sendirinya. Ari bekerja keras, tidak puas hanya bekerja sesuai dengan "argo", delapan jam sehari terus pulang. Selain itu, bukan hal yang gampang memimpin dapur sebuah hotel prestisius yang berada di tengah-tengah Eropa. Saat pertama kali memimpin dapur, selama sebulan Ari tidak berbicara. Dia hanya melihat para koki memasak. Ketika hendak memperbaiki cara para kokinya memasak consomme (semacam sup kaldu), ia hanya berkata, "Ayo, kita masak consomme sama-sama." Setelah selesai, ia bertanya, "Bagus mana, consomme buatan kamu atau saya?" Saat kokinya menjawab bahwa buatan Ari lebih bagus, dia langsung menyambar, "Nah, besok kita buat consomme yang seperti ini."

Kepiawaian ini diringkas Ari dalam satu kalimat, "Saya orang Asia, mengajari orang Eropa masak makanan Eropa di Eropa."

LEBIH DI HARGAI DI NEGERI ORANG

Para koki itu ibarat nabi, mereka tak dihargai di negerinya sendiri. Simaklah pengalaman Ari Munandar. Dengan jam terbang sebagai executive chef di hotel prestisius di Praha, Republik Cek, dia pernah melamar posisi top di sebuah hotel di Indonesia. Tapi penolakanlah yang ia terima. Alasannya? Ia bukan orang Eropa. Perlakuan buruk restoran dan hotel di Indonesia terhadap para koki dalam negeri mendorong mereka berdiaspora ke berbagai negara. Noldy Nawiling misalnya. Pemimpin koki di Restoran Kintamani, Hotel Furama Riverfront, Singapura, mengatakan, "Di sini (dalam negeri) kita kurang dihargai."

Hal serupa disampaikan Henry Alexie Bloem, Ketua Umum Indonesian Chef Association. Pengusaha lebih suka melihat ada nama asing sebagai executive chef di hotel-hotel mereka. "Padahal yang masak juga orang Indonesia," kata Henry. Apalagi jika menghidangkan masakan Indonesia. "Mungkinkah bule memasak rendang?" Bekerja di luar negeri mengandung hikmah karena penghasilan mereka ternyata bisa berlipat ganda. Menjadi koki di kapal pesiar, misalnya, kata Henry, digaji Rp 7-8 juta sebulan bersih.

Mereka tidak perlu memikirkan tempat tinggal atau makan. Seluruh gaji bisa ditabung. Di Indonesia, gaji mereka hanya di kisaran Rp 1 juta, dan masih harus memikirkan biaya hidup. Pengalaman bekerja di negeri asing bertambah menarik bagi chef muda seperti Puryono M. Kertoraharjo. Pemuda asli Ponorogo, Jawa Timur, ini baru berusia 23 tahun dan langsung bekerja di Hotel JW Marriott, Kuwait, begitu lulus kuliah. Sekarang dia memasak bagi para pelanggan JW Marriott di Washington, Amerika Serikat.

Puryono tidak membayangkan bisa bekerja di Marriott Washington hanya berselang lima tahun setelah ia menyelesaikan SMA di Ponorogo, Jawa Timur. Saat magang di JW Marriott Surabaya, semasa kuliah di Surabaya Hotel School, ia melihat ada lowongan posisi koki di JW Marriott Kuwait.

Berkat hasil kerja yang memuaskan, hanya tiga tahun di Kuwait, ia dipindahkan ke JW Marriott Washington. Di ibu kota Amerika itu, dia pernah menjadi chef of the month alias koki terbaik bulan itu. Prestasi tersebut diraih, kata Puryono, selain karena disiplin dan cepat belajar, lantaran sering membuat kreasi menu baru.

SUMBER : tempointeraktif
Salah satu menu andalan Puryono adalah treccia di salmone, sesuai dengan kegemarannya memasak makanan Italia. Masakan ikan salmon yang dipotong kepang dan diasap ini tidak bisa langsung disajikan kepada tamu, tapi mesti diperiksa executive chef dan dinilai oleh panel. Setelah melewati saringan itu, barulah masakan Puryono membuat lidah pelanggannya bergoyang.

Tidak ada komentar: