07 September 2009

AZHARI SASTRANEGARA : AHLI BENTURAN DARI MAJENE


Lelaki itu selalu memulai dengan sederhana: bersepeda menuju kantornya, NSK Ltd. Setiap hari, sepanjang tahun, dia mengayuh sepeda selama 15 menit dari rumahnya di House Malonie Nomor 2, Fujisawa-shi, Kanagawa, Jepang Sekilas dia adalah pria kampung Jepang biasa. Nyaris tak ada yang tahu bahwa dia pria penting. Dia adalah salah satu ahli top di Jepang dalam bidang analisis keamanan struktur terhadap benturan.

Di kantornya itu, design engineer berusia 33 tahun ini selalu menghabiskan sebagian harinya di Automotive Bearing Technology Department. “Pulang kantor pukul 18.00, kalau lagi lembur pukul 20.00,” ujar Azhari kepada Tempo melalui surat elektronik pekan lalu.

Doctor of engineering dari Tokyo Institute of Technology, Jepang, itu bergabung dengan produsen bearing dan komponen otomotif tersebut sejak April 2005. Awalnya ia berkarier sebagai research engineer di NSK Research and Development Center. “Tema penelitian saya cukup beragam, berkisar pada analisis struktur dan bahan terhadap benturan,” ujar Azhari.

Salah satu riset pria kelahiran Majene, Sulawesi Barat, itu adalah tentang desain kemudi kendaraan yang aman. Dalam penelitian itu, tugasnya melakukan perhitungan apakah rancangan kemudi yang diajukan oleh bagian desain sudah memenuhi syarat keamanan ketika terjadi tabrakan. Dari aneka penelitian itu, Azhari dan timnya di NSK menghasilkan enam paten yang kini terdaftar di Japan Patent Office.

NSK ternyata juga bukan tempat kerja pertamanya. Sebelumnya, Azhari—yang meraih gelar doktor dengan disertasi berjudul “Effect of Transverse Impact on Energy Absorption of Column”—sempat menjadi asisten dosen di Tokyo Institute of Technology. Di kampus itu pula Azhari merampungkan pendidikan dari S-1 sampai S-3.

Dia belajar di kampus itu setelah lulus dari SMA Taruna Nusantara, Magelang, Jawa Tengah, pada 1994. Modalnya: beasiswa Mitsui Bussan Indonesia Scholarship, yang menyeleksi peserta dari pelajar SMA se-Jawa dan Bali. Beasiswa itu cuma untuk menyelesaikan sarjana strata satu. Jadi, saat melanjutkan ke strata dua, “Saya kuliah sambil bekerja paruh waktu,” ujarnya. Pada program S-3, ia kembali mendapatkan beasiswa—kali ini dari Moritani Scholarship dan Tsuji Asia Scholarship.

Setelah memperoleh gelar doktor, Azhari sempat ingin kembali ke Tanah Air. Namun, ia tak mendapatkan tempat untuk mengaplikasikan pengetahuan yang dimilikinya. “Jaringan kerja saya juga belum ada,” ujarnya. Dia pun memutuskan menimba ilmu di perusahaan Jepang, yang muatan penelitiannya banyak. Untuk ikut memajukan Indonesia, ia punya cara lain.

Bersama tujuh temannya yang juga pernah mengenyam pendidikan di Jepang, Azhari mendirikan situs Infometrik sekitar tiga bulan lalu. Ketujuh pakar itu adalah Dr Sri Harjanto, pakar bidang metalurgi dan nano-material dari Universitas Indonesia; Dr Syarif Junaedi, pakar bidang material sains dan dosen di International Islamic University Malaysia; Dr Edi Marwanta, peneliti BPPT bidang material polimer; Dr Purwadi Raharjo, peneliti di Nagata Seiko, perusahaan material Jepang; Fuziansyah Bachtar, PhD, peneliti di perusahaan polimer INOAC; Dr Edi Suharyadi, peneliti program postdoc di Nagoya University;
serta Wawan Setiawan, ST, manajer perusahaan manufaktur Jepang di Indonesia.

Ide membuat majalah teknologi online itu bermula dari keinginan mereka memberi sumbangsih dalam perkembangan teknologi Indonesia. “Kami prihatin karena, sejak era Habibie berlalu, sepertinya perhatian pada perkembangan teknologi sangat kurang,” katanya. Bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional, 10 Agustus lalu, Infometrik diluncurkan.

Melalui Infometrik, para pendirinya ingin menyediakan tempat berbagi pengetahuan mengenai teknik mesin, material, serta manufaktur secara gratis dan mudah. “Kami berusaha menyajikan informasinya secara populer dengan bahasa yang mudah dicerna, tanpa mengurangi muatan ilmiahnya,” ujar Azhari.

Azhari bersyukur keberadaan Infometrik mendapat respons yang baik. Sebelum resmi diluncurkan, pengunjung Infometrik mencapai 200 orang dalam sebulan. Sejumlah pengguna dari kalangan umum, menurut Azhari, menyatakan isinya menarik dan mudah dimengerti meskipun mereka bukan dari bidang teknik mesin atau material.

“Mudah-mudahan situs ini bisa menjadi salah satu media informasi bidang teknologi yang mencerdaskan bangsa,” ujarnya. Walaupun sudah menetap lama di Jepang, kehidupan ayah tiga anak ini memang tak lepas dari Indonesia. Bahkan dua anaknya, yang duduk di kelas V dan kelas II sekolah dasar, saat ini belajar di Tanah Air. Anak Azhari tinggal bersama kakek dan nenek mereka di Pejaten, Jakarta Selatan. Sebelumnya, mereka belajar Kanji dan bahasa Jepang di Negeri Matahari Terbit itu.

Namun, Azhari khawatir mereka akan lupa bahasa dan budaya Indonesia. “Karena itu, saya sekolahkan mereka di Tanah Air,” ujar suami Nesia Andriana ini. Jika rasa kangen terhadap Tanah Air melanda, Azhari akan segera menelepon keluarganya di Indonesia. Selain itu, ia menghadiri acaraacara di Kedutaan Besar Indonesia dan Sekolah Republik Indonesia di Tokyo, seperti bazar, perayaan 17 Agustus, dan pengajian bulan Ramadan. Azhari pun masih suka pulang kampung. “Saya pulang ke Indonesia sekali dalam dua tahun,” ujarnya.

Dia berharap bisa segera kembali ke Tanah Air. “Bagaimanapun hidup di budaya sendiri, memakai bahasa sendiri, bertemu handai taulan dengan segala suka-dukanya jauh lebih menyenangkan dibanding hidup di Jepang,” ujarnya.

sumber : tempointeraktif

Tidak ada komentar: