07 September 2009

Dr Nurul Taufiqu Rochman, MEng : MENDANAI RISET DARI BISNIS SERABUTAN

Demi menambal biaya penelitian, para ilmuwan kita di sini harus jungkir balik. Ada yang patungan menyewakan lapangan futsal.

Berbongkah batu alam tergeletak di dalam kardus di ruangan yang tak terlalu luas itu. Serbuk silika berwarna kuning, pasir besi, beberapa alat pemotong besi, dan pemisah magnet tampak berserakan di lantai berlapis kayu.

“Beginilah kalau sedang bekerja, berantakan,” ujar Dr Nurul Taufiqu Rochman, MEng, Jumat malam lalu. Di ruang berukuran 5 x 8 meter itulah peneliti fisika di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Puspiptek Serpong, Tangerang, ini melakukan riset teknologi nano.

Ruangan yang terletak di lantai dua Pusat Penelitian Fisika LIPI itu nyaris seperti kapal pecah. Sejumlah diktat dan proposal berserakan di atas meja. Beberapa unit komputer serta alat-alat eksperimen rakitan Nurul dan delapan stafnya juga belum dibereskan.

Malam itu, pria lulusan Kagoshima University, Jepang, ini menunjukkan kehebatan pemisah magnet temuannya. Nurul tak perlu terbang jauh ke luar negeri untuk membeli komponen alat itu karena tersedia di Glodok, Jakarta Barat. Nurul memasukkan sejumput pasir besi ke alat tersebut. Setelah diputar, pasir yang mengandung besi oksida turun dan yang tak mengandung besi oksida menempel pada lempengan karet yang melengkung ke bawah.

Dari serbuk pasir yang telah dinanokan itu bisa dibentuk batangan besi dan tabung besi. Menurut Nurul, pasir besi sangat mudah dicari. “Sekilo paling cuma Rp 250. Kalau sudah dinanokan, bisa mencapai Rp 1 juta. Ini peluang bisnis untuk mengolah kekayaan alam Indonesia,” ujarnya.

Teknologi nano yang sederhana dan pengolahan yang tak rumit membuat pasir besi selanjutnya bisa diolah menjadi tinta printer seharga Rp 250 ribu. Kekayaan alam Indonesia yang melimpah itulah yang membuat Nurul pulang kampung setelah 15 tahun kuliah dan bekerja di Negeri Sakura. Pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 5 Agustus 1970, itu menyelesaikan S1 sampai S3 teknik mesin di Kagoshima University atas biaya Habibie Center.

“Saya gemes banget. Apa yang mungkin orang lain tidak lakukan, saya bisa kerjakan. Makanya saya ingin di bengkel ini mestinya juga lahir Apollo berteknologi nano,” katanya seraya menunjuk sejumlah mesin.

Peraih Ganesha Widya Jasa Adiutama Award dari Institut Teknologi Bandung pada 2009 itu bersemangat menciptakan alat-alat baru berteknologi nano yang belum ada di dunia dari kekayaan alam Indonesia.

“Di tangan saya dan tim, alat semacam ini harganya cuma Rp 5 sampai Rp 20 juta.” ujar Nurul sembari memperlihatkan milling gerak elips 3 dimensi yang difungsikan sebagai penghancur partikel nano.

Tak ada alat penyejuk ruangan. Untuk menghindari terpaan sinar matahari, bagian depan bangunan ditutup dengan kerai bambu. Karena keterbatasan fasilitas, ia kerap harus menyewa laboratorium untuk penelitian karena ada bagian dari penelitian yang mesti memanfaatkan reaktor nuklir.

Arief belajar bioteknologi dari S-1 hingga S-3 di jurusan bioteknologi, Fakultas Teknik , Tokyo University of Agriculture and Technology, Tokyo, Jepang, mulai 1991 sampai 2000. Selama kuliah di Jepang, indeks prestasi kumulatifnya (IPK) memuaskan, yakni 3,54 (S-1), 3,89 (S-2), dan 4,00 (S-3). Dengan prestasi akademiknya itu, ia mendapatkan beasiswa dari berbagai lembaga, yakni Kementerian Riset dan Teknologi (S-1), Iwaki Glass Jepang (S-2), serta Ultizyme International Jepang dan Menteri Riset dan Teknologi (S-3).

Setelah lulus S-3 pada 2000, Arief menjadi research associate di School of Materials Science, Japan Advanced Institute of Science and Technology, Ishikawa. Namun, ia memutuskan pulang karena ingin mengembangkan ilmu bioteknologi-rekayasa protein yang masih sangat jarang di Indonesia pada 2002. Ia memilih bekerja di LIPI.

Selama di Indonesia, pria kelahiran Lahat, Sumatera Utara, 12 Mei 1971, itu sempat menjadi peneliti tamu di perusahaan bioteknologi enzim, Ultizyme International, Tokyo, pada 2004. Tiga tahun kemudian, ia menjadi peneliti tamu di Fraunhofer Institute for Molecular Biology and Applied Ecology, Aachen, Jerman.

Dengan latar belakang pendidikan dan profesi cemerlang, ia menggaet sejumlah penghargaan, di antaranya Peneliti Muda Indonesia Terbaik Bidang Ilmu Pengetahuan, Teknik, dan Rekayasa dari LIPI (2002); Satya Lencana Karya Satya 10 Tahun dari Presiden RI (2003); serta Technopreneur Award dari Fraunhofer Society dan German Academic Exchange Service, Jerman (2007). “Hadiah dari penghargaan-penghargaan itu saya tabung untuk mendanai riset sekarang,” kata Arief, yang tak menyesal pulang kampung.

Di Indonesia, Arief bisa melakukan penelitian sendiri. Obyek penelitian melimpah. Sayangnya, orang Indonesia kurang menghargai keahlian seseorang. Menurut dia, prestasi internasional tak menjamin seseorang bisa mendapatkan dana penelitian sehingga tak mendorong peneliti berprestasi yang sebenarnya.

“Sering kali dana penelitian diberikan karena faktor kedekatan dengan penilai.” Untuk mendanai risetnya, ia membantu penelitian di perguruan tinggi, menjadi konsultan pendidikan dan penelitian di perguruan tinggi serta lembaga penelitian. “Jadi tidak ada perasaan gengsi,” kata Arief, yang ingin kembali ke Jepang untuk menyegarkan pengetahuan dan keahlian terbaru.

Pada 2002-2007, Arief meneliti molecular farming produksi protein rekombinan untuk farmasi, terutama tembakau dan tanaman kantong semar. Selama periode ini, ia mendapatkan dana penelitian dari pemerintah lewat LIPI dan Menteri Riset dan Teknologi. Sejak 2007, ia meneliti nano-bioteknologi pada virus demam berdarah untuk pengembangan vaksin dan obat demam berdarah. Salah satu penelitian didanai perusahaan bioteknologi Australia dan sudah dipresentasikan di Brisbane, Australia.

Ia melanjutkan penelitian itu dengan mengajukan proposal ke LIPI dan Menteri Riset dan Teknologi, tapi ditolak. Ia pun mendanai riset dari kocek sendiri dibantu fasilitas dan peneliti dari Litbang Departemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dan Batan.

“Alhamdulillah, bulan Agustus 2009 ini hasilnya mendapat perhatian dunia dan diundang untuk presentasi di Sydney, Australia.” Tak mudah bagi Arief untuk menjalankan risetnya. Karena keterbatasan dukungan fasilitas laboratorium, ia melakukan penelitian di tempat lain dengan meninggalkan jam kerja. “Terancam sanksi disiplin kehadiran fisik di kantor yang minim, walaupun hasil penelitian tetap dipublikasikan dengan nama LIPI. Dilakukan di luar kantor karena di dalam kantor tidak ada pekerjaan. (Proposal) dana ditolak,” kata Arief, yang sangat yakin Indonesia memiliki potensi besar di bidang biomolekuler.

Dibanding ruangan Arief, ruang tempat Gunawan Setyo Prabowo— seorang peneliti satelit—lebih representatif. Bangunan berlantai dua di lingkungan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) di Jalan Cagak Satelit, Rancabungur, Kabupaten Bogor, itu terdiri atas empat ruangan. “Yang ini ruang steril, harus bebas dari debu,” kata Gunawan menunjukkan salah satu ruangan di lantai dua.

Setiap ruangan rata-rata berukuran 6 x 7 meter. Sejumlah penghargaan dan poster desain satelit yang tengah dirakitnya menghiasi dinding ruangan laboratorium. Master dalam bidang teknik elektro dari Universitas Indonesia pada 2002 itu juga harus menghadapi kendala dalam penelitian, seperti sumber daya manusia Indonesia belum siap bekerja dengan sistem yang baik serta lemahnya dukungan infrastruktur. “Metode, peralatan, penghargaan yang kurang, koordinasi, dan banyak hal,” kata pria yang menyelesaikan S-1 jurusan fisika di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu.

Untuk menekan biaya riset, pria kelahiran Wonosobo, 24 Juli 1967, ini bersama timnya mencoba membuat alat sendiri, tapi belum pernah diuji terbang. “Dengan melakukan proses produksi sendiri, biaya menjadi sangat murah,” kata Gunawan, yang menjabat Kepala Bidang Instrumentasi Wahana Dirgantara Lapan sejak April 2009.

sumber : tempointeraktif

Tidak ada komentar: