07 September 2009

SONJA DAN SHANTI SUNGKONO : SI KEMBAR PENAKLUK BERLIN

Penampilan mereka memukau publik musisi klasik, dari Eropa hingga Amerika. Diganjar pelbagai penghargaan internasional bergengsi.

Suatu hari, di hadapan publik musik klasik Berlin, Jerman, penampilan duo pianis kembar Sonja dan Shanti Sungkono tampak eksotis. Di atas pentas, tubuh kedua perempuan berwajah Jawa ini dibalut kebaya dengan siluet brokat keperakan. Rambut mereka disanggul. Penampilan keduanya jauh dari penampilan panggung para musisi klasik yang konservatif—yang umumnya muncul dengan gaun panjang warna hitam.

Duet Sonja-Shanti tak sedang ingin tampil unik, apalagi nyentrik, dengan gaya tersebut. Model penampilan itu boleh dibilang telah menjadi ciri khas sekaligus identitas mereka sebagai perempuan Indonesia dalam pelbagai pentas di mancanegara. Selain penampilan, dalam setiap pertunjukan, keduanya selalu memperkenalkan diri sebagai duo pianis Indonesia. “Dari penampilan saja kelihatan, kami bukan orang Jerman,” kata keduanya, yang sejak 1991 bermukim di Berlin.

Toh, bukan lantaran penampilan itu yang membuat mereka memukau. Kepiawaian jari-jari mereka menari di atas tuts pianolah yang dikagumi penikmat musik klasik, baik di Jerman maupun di kota-kota besar lain di mancanegara.
Bahkan permainan Sonja-Shanti telah mencuri perhatian para musisi dan kritikus musik klasik Eropa. Di Jerman, penampilan mereka dipuji sebagai, “Benar-benar pertunjukan yang indah, mengagumkan, dan profesional.”

Prestasi mereka pun patut dibanggakan. Mereka meraih Jerry Coppola Prize dalam lomba duet piano di Miami, Amerika Serikat, pada 1999. Dua tahun berturutturut, 2001 dan 2002, mereka menyabet Prize Winners Juergen Sellheim Foundation di Hannover, Jerman. Lalu pada 2002 menjadi juara ketiga Torneo Internazionale di Musica di Italia. Terakhir, mereka menggondol Prize Winners pada National Piano Duo Competition di Saarbrucken, Jerman, pada 2003.

Album pertama mereka, Works for Two Pianos, dirilis pada 2002. Dua tahun berselang, Sonja-Shanti menelurkan album kedua bertajuk 20th Century Piano Duets Collection. Kedua album berformat CD itu di bawah label NCA Jerman. Peredaran album kedua lebih luas dari yang pertama.

Selain di Jerman, album tersebut beredar di Prancis, Italia, Austria, Swedia, Jepang, dan Amerika. Kedua album itu juga mendapat apresiasi yang cukup antusias dari sejumlah media musik klasik di Eropa. Selain itu, kedua album tersebut masuk arsip Perpustakaan Musik Naxos—produser musik klasik dunia yang menyimpan sekitar 36 ribu album.

Lahir di Jakarta, 3 Januari 1972, Sonja-Shanti terbang ke Jerman saat negeri itu tengah dikepung musim dingin pada 1991. Awalnya, mereka hanya ingin menengok kakaknya, dan belajar bahasa Jerman. Tapi bakat seni yang mengalir dari orang tuanya (ibunya seorang pianis dan bapaknya pencinta musik klasik) kemudian menggiring mereka masuk jurusan musik di Hochschule der Kunste, Berlin. Belajar bahasa yang telah mereka jalani sekitar tiga tahun pun ditinggalkan.

Rupanya pilihan mereka tak meleset. Di bawah bimbingan Profesor Sorin Enachescu, talentapermainan piano kian terasah. Semasa kuliah, Sonja-Shanti sempat membentuk chamber music dengan mahasiswa lainnya. Tapi mereka tak berhasil. Akhirnya mereka memohon kepada Profesor Enachescu untuk menempuh ujian diploma piano duo.

Profesor keturunan Rumania itu mengabulkan dan kemudian menguji mereka. Padahal ujian seperti ini tak pernah ada sebelumnya. Dalam ujian tersebut, duet Sonja-Shanti menyuguhkan permainan Searamousche—sebuah komposisi piano klasik karya Darius Milhaud—sepanjang sekitar 15 menit. Sang guru besar terpesona oleh permainan mereka yang memikat. Predikat sehr gut (sangat bagus) diperoleh mereka.

Momentum itulah yang dijadikan langkah awal duet pianis Sonja-Shanti. Sejak itu, mereka mulai menapaki karier sebagai duo pianis. Tentu saja bukan tanpa rintangan. Pada awal-awal karier, mereka beberapa kali harus pindah apartemen karena tetangganya terusik oleh denting piano ketika mereka berlatih. Dari teror sampai dilaporkan ke polisi segala pernah dialami mereka.

Setelah sekitar tiga bulan gapah-gopoh mencari tempat yang cocok, akhirnya mereka menemukan sebuah apartemen yang pas di kawasan Neukoeln. Apartemen itu terdiri atas dua lantai, bagian atas dipakai sebagai tempat tinggal dan ruang bagian bawah yang kedap suara dijadikan tempat latihan mereka. Kebetulan pemilik sebelumnya seorang musisi.

Bermodal dua grand piano, mereka terus mengasah talenta di ruang bawah apartemen tersebut. Penampilan mereka yang memukau menarik minat sejumlah kalangan, termasuk almamaternya, yang kini bernama Berlin University of the Arts. Waktu terus bergulir, nama mereka mulai menjadi pembicaraan di kalangan penikmat dan musisi klasik Jerman.

Undangan untuk pentas pun kemudian membanjiri mereka. Sonja-Shanti kian yakin atas langkah mereka setelah penampilan duet piano di sejumlah kota besar Eropa—seperti Berlin, Hamburg, Warsawa, Venesia, dan Paris—mencatatkan sukses besar. Boleh dibilang, kelebihan mereka dibandingkan dengan duet-duet pianis Jerman yang sudah lama berkiprah adalah mereka lahir kembar, hubungan batin keduanya terasa lebih kuat.

“Jadi, kalau di panggung saya berbuat kesalahan, Shanti akan cepat bereaksi, sehingga malah terdengar seperti ada kling yang baru,” tutur Sonja kepada Tempo. Kini jadwal penampilan duet mereka setiap tahun diumumkan Arsip Konser Laurent Mettraum—yang bertanggung jawab membuat daftar pertunjukan para musisi berbakat dari seluruh dunia di Internet. Dalam daftar itu tertera jadwal mereka akan tampil bareng pada sebuah pertunjukan dengan duet pianis terkenal dari Swiss: Dominique Derron dan Pius Urech.

Sonja-Shanti acap kali membawakan karya-karya komposer musik klasik dunia, seperti Mozart, Bach, Tchaikovsky, Schubert, dan Debussy. Kadang duet ini juga mendetingkan gubahan Colin Mc Phee yang terpesona oleh keindahan Pulau Dewata: Balinese Ceremonial Music. Dentingan gamelan khas Bali terdengar amat merdu di atas tuts-tuts piano.

“Sebetulnya kami ingin bekerja sama dengan musisi Indonesia, seperti Adi M.S. Tapi kami sering terbentur pada soal hak cipta. Di Jerman, hak cipta amat ketat,” ujar Sonja. “”Padahal kami ingin membawa musik Indonesia ke pentas dunia.”

Sehari-hari mereka mengajar piano. Sonja mengajar piano di sebuah sekolah musik di Berlin. Adapun Shanti mengajar les privat piano. Keduanya juga telah berumah tangga. Sonja, yang tengah hamil delapan bulan, menikah dengan seorang arsitek asal Jerman. Adapun kembarannya, Shanti, bersuami musisi rock asal Inggris dan dikaruniai seorang anak laki-laki berusia lima tahun. Meski telah menikah, keduanya tak menyandang nama suami di belakang nama mereka.

Menurut mereka, untuk penampilan profesional, mereka merasa tetap afdol dengan nama Indonesia. Meski kepiawaian duet pianis ini telah berhasil melambungkan Jerman di belantika musik klasik internasional, mereka berkukuh akan tetap mempertahankan status kewarganegaraannya. “Kami cinta Indonesia, buat apa melepas kewarganegaraan?” kata mereka.

Mereka belum tahu sampai kapan akan tinggal di Jerman. Apalagi anak-anak mereka lahir pula di Jerman. “Tapi keinginan pulang ke Indonesia tak pernah padam. “Aduh gimana ya, walaupun saya bisa makan masakan Jerman, lidah saya tetap cinta gado-gado,” kata perempuan yang bercita-cita mendirikan sekolah musik di Jakarta ini terbahak.

DARI MELATI SAMPAI ANANDA

Pepatah lama “daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri” tampaknya tak berlaku bagi art performer Melati Suryodarmo. Sejak 15 tahun silam, perempuan 40 tahun ini memilih bermukim di Jerman.
Awalnya Melati terbang ke Jerman untuk belajar seni di Hochschule fuer Bildende Kuenste (HFBK), sebuah institut seni rupa di Braunschweig. Setelah menggondol gelar master seni, sarjana ilmu politik dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, ia malah tak balik lagi ke Indonesia. Ia memutuskan berkiprah di Jerman.

Baru-baru ini, Tempo menengok pertunjukannya: Exergy. Mengenakan rok mini hitam, sepatu hak tinggi, Melati meliuk-liuk sambil menapak di atas sebaran 20 batang mentega. Ia limbung, lalu terpelanting, tapi terus bangkit, tak peduli pada licin. “Butter adalah simbol licinnya hidup. Saya tak tahu kapan akan jatuh, tapi harus berupaya tetap berdiri,” kata Melati. Hidup Melati memang selicin mentega di Exergy. Ayahnya, Suprapto Suryodarmo (seniman senior Solo, Jawa Tengah), berkeberatan bila si sulung mengikuti jejaknya. “Tahu sendirilah nasib seniman di Indonesia.” Melati patuh, lalu ia kuliah di Universitas Padjadjaran, Bandung, tempat ia bertemu dengan pria Jerman, yang kemudian memboyongnya ke sana. Pernikahan itu lalu bubar, tapi membuka lembar hidup baru bagi Melati.

Melati mendaftar ke HFBK, dan menjadi murid Anzu Furukawa, pakar butoh. Ia juga belajar kepada Marina Abramovic, yang dikenal sebagai dewi performing art. Marina mengapresiasi bakat Melati, dan mengangkatnya sebagai asisten selama empat tahun. Melati dengan mudah memperoleh tawaran kerja dari pemilik galeri dan kurator. “Itulah
enaknya jadi murid Marina,” ujarnya. Melati sudah menggelar pertunjukan di berbagai negara. Kota-kota besar di
seantero Eropa telah ia jelajahi, juga berbagai kota di Asia, hingga ke ibu kota seni kontemporer, New York. Di sana ia diundang sebagai warga kehormatan sebagai penghargaan atas debut-debut seninya di kancah dunia.

Kontraknya tak pernah putus sepanjang tahun. Jangan heran jika suatu ketika menelepon wanita bertubuh sintal ini Anda cuma dijawab orang di rumahnya: “Oh, Melati sedang di Korea. Baru kembali dua minggu lagi.” Dan ketika ditelepon dua pekan kemudian ternyata Melati sudah berangkat lagi ke Thailand. Begitulah yang dialami Tempo suatu hari.

Hingga Agustus tahun ini saja, Melati sudah menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk turnya ke pelbagai negara, dari Brussel sampai Korea Selatan. Dengan jadwal sepadat itu, praktis setahun cuma beberapa bulan saja Melati bisa berkumpul dengan keluarganya di Jerman. Dalam karya-karyanya, Melati banyak bermain dengan simbol. Pada The Promise, ia membawa cemara dan hati sapi segar 6 kilogram. Di Museum Van Gogh, Amsterdam, Belanda, ia hanya duduk mematung 10 jam di atas kursi yang ditempelkan pada tembok setinggi 2,5 meter dari lantai, memegang bola hitam sebagai simbol bola kematian.

Sebagai artist performer, nama Melati sangat terkenal di kalangan seniman Jerman. Bakat seninya memang tumbuh dan berkembang di sini. Semua kontrak pertunjukan yang datang dari seluruh dunia pun dilayangkan ke rumahnya di Gross Gleidingen, Peine, di wilayah utara Jerman. Ya, meski kiprahnya telah mendunia, nama Melati nyaris tak terdengar di sini. Di Jerman, selain si kembar pianis Sonja-Shanti Sungkono dan Melati, masih ada sejumlah seniman Indonesia lain yang berprestasi. Sebut Christian Lesmana, yang kini bermukim di Braunschweig,
Jerman. Pria asal Bandung ini adalah desainer mobil untuk Volkswagen.

Sebagai desainer industri, dia ikut membuat VW Phaeton, sedan mewah 4-wheel-drive yang diproduksi sejak 2002.
Pada Frankfurt Motor Show 2007, dipamerkan sebuah konsep mobil, Volkswagen Up!. Chris ikut mendesain city car dua pintu itu. Namanya terdaftar di paten-paten berbagai produk desain VW. Keluar dari Jerman, menuju Prancis, kita mengenal Anggun Cipta Sasmi, 35 tahun. Dia mulai menyanyi pada usia 12 tahun. Ia sukses sebagai rocker belia Indonesia dengan delapan album pada 1986-1994. Anggun lalu terbang ke London, Inggris. Setahun di sana, ia pindah ke Paris, Prancis.

Ia lalu bertemu dengan produser Erick Benzi. Pada 1997, album Anggun, Au Nom de la Lune, beredar di Prancis. Itu disusul album Snow on the Sahara (1998), yang menjadi debut internasional Anggun. Dia menjadi penyanyi Asia pertama yang masuk ke kancah musik dunia. Kini ia punya lima album Prancis dan delapan album berbahasa Inggris. Menuju Spanyol, ada Ananda Sukarlan, 41 tahun. Dia mendapatkan gelar master dari Fakultas Piano Koninklijk Conservatorium, Den Haag, Belanda.

Setelah itu, kariernya melambung. Ia memperoleh berbagai penghargaan, dan menggelar konser di gedung-gedung ternama Eropa. Namanya tertoreh di Guinness Book of Record setelah memperdanakan 38 karya baru dalam Festival
Musik Modern 1995 di Spanyol, tempat ia kini bermukim. Komposer kelas dunia mengakui kehebatan Ananda.

Sebagaimana Anggun, Ananda masih kerap pulang untuk mengerjakan berbagai proyek, juga mempromosikan bakat-bakat cilik, seperti di gelaran Pianississimo pada Januari lalu di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kenapa berkarier di luar? “Kalau di luar negeri, saya lebih berguna buat orang Indonesia. Saya memainkan karya komponis Indonesia di sana,” katanya suatu hari.

Tidak ada komentar: