14 Oktober 2010

Panglima Perang Itu Bernama RRI

Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RRI) memenuhi janjinya pada 2010 dapat memulai siaran radio dari wilayah perbatasan Republik Indonesia-Timor Leste ketika tanggal 16 September 2010, saat Parni Hadi selaku Direktur Utama (Dirut)-nya meresmikan operasional Stasiun LPP RRI Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Parni Hadi saat itu didampingi Komandan Resor Militer (Danrem) 461/Wirasakti, Kolonel Inf. I Dewa Ketut Siangan, Bupati Belu, Drs. Joachim Lopez, dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Belu, Simon Guido Sera, yang meletakkan batu pertama gedung studio produksi dan sekaligus meresmikan operasional LPP RRI di Kecamatan Atambua, Kabupaten Belu, NTT.

Hal tersebut menandai peran terdepan siaran RRI di wilayah yang berbatasan dengan negara tetangga Timor Leste. Saat ini LPP RRI memiliki 14 studio produksi di kawasan perbatasan negara tetangga, yaitu di Skow, Oksibil, Boven Digul, Kaimana, Entikong, Malinau, Nunukan, Longbagan, Putusibau, Batam, Sabang, Sampang, Takengon dan Atambua. Bahkan Studio Produksi LPP RRI di Tahuna, Sangir Talaud, statusnya telah naik status menjadi stasiun/studio penyiaran.

Pada pengoperasian Studio Produksi LPP RRI Atambua itu ditandai dengan siaran khusus dan dialog dalam program “Indonesia Menyapa dari Atambua”, dan Joachim Lopez bicara soal isolasi informasi di daerahnya. Adapun Kolonel I Ketut Dewa Siangan mengemukakan manfaat siaran radio bagi pasukan yang bertugas di perbatasan sepanjang 268 kilometer dari sektor barat ke timur. Sedangkan, Parni Hadi menegaskan tentang “Sabuk Pengaman Informasi”, dan peran LPP RRI di daerah perbatasan NTT dengan Timor Leste.

Konsep dan Program “Sabuk Pengaman Informasi” awalnya diluncurkan Parni Hadi pada peringatan Hari Radio 2006 dalam bingkai tema “Menjaga Integritas Bangsa”. Ini merupakan suatu konsep dan program yang makin tinggi relevansinya dan terus bergulir maju, khususnya saat ini dengan telah dimilikinya 14 studio produksi plus sebuah stasiun penyiaran di kawasan perbatasan.

Seorang Parni Hadi dapat dikatakan sebagai komunikator ulung sejalan dengan karir jurnalistiknya dari Kantor Berita ANTARA pada 1973, dan pernah membidani harian umum Republika. Ia bisa jadi tidak sempat berkomunikasi dengan Benjamin Palmer, yang pada awal tahun 1900-an dicatat oleh Joseph R. Dominick (pada 1999) mendirikan Palmer College of Chiropractic di Davenport, Iowa, Amerika Serikat (AS), yang kemudian mendirikan perusahaan siaran radio WHO dalam wadah perusahaan milik keluarga dengan bendera Palmer Communication pada 1930-an.

Konsep dan program siaran “Sabuk Pengaman Informasi” RRI yang digagas Parni Hadi mirip dengan program siaran “The Corn Belt Hour” (Jam Siaran Sabuk Belulang) radio WHO yang memperoleh penghargaan nasional AS pada 1939.

Dengan konsep dan program siaran “Sabuk Pengaman Informasi” ini RRI telah menempatkan di barisan terdepan (forefront) dalam memberikan pelayanan siaran dan informasi di daerah perbatasan dan daerah-daerah terpencil yang tidak tersentuh oleh terpaan media massa lainnya.

Program siaran “Sabuk Pengaman Informasi” didesain untuk siaran radio di kawasan perbatasan, sehingga sangat relevan dengan fenomena “Perang Informasi”. Oleh karena program siaran ini bertujuan sebagai pelayanan siaran dan informasi di daerah-daerah terpencil, maka konsep dan programnya sangat signifikan bagi program perang melawan pemiskinan-kemiskinan informasi dan isolasi informasi.

“Sabuk Pengaman Informasi” adalah siaran khusus RRI yang berada di daerah perbatasan. Siarannya dibuat dengan muatan dan misi khusus, antara lain dipancarkan dari Batam yang berbatasan dengan Singapura, dan dari perbatasan Entikong di Kalimantan Barat (Kalbar) yang berbatasan dengan wilayah Malaysia.

Perang informasi pada lingkup TNI pertama kali diungkap oleh Jenderal TNI R. Hartono semasa ia menjadi Kepala Staf Tentara Nasional Angkatan Darat (Kasad) era Orde Baru. Kemudian Jenderal TNI Tyasno Sudarto semasa menjadi Kasad memulai rencana sosialisasi, pentahapan dan program perang informasi secara lebih rinci, tapi terbatas. Kemudian, Brigjen TNI Hotma Panjaitan semasa menjabat sebagai Kepala Dinas Penerangan TNI AD juga menyiapkan kerangka program awal rintisan perang informasi.

Jika dirunut ke belakang lagi, periode 1980 - 1990-an TNI telah mengidentifikasi dan menaruh perhatian besar terhadap perang informasi. Itu semasa Jenderal TNI Try Sutrisno menjabat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang kemudian kembali alih nama TNI. Ia kala itu menugasi beberapa perwira dan tenaga ahli sipil untuk mengkhususkan perhatian pada hal-hal yang menyangkut perang masa depan, termasuk perang informasi dan anti-terorisme.

Dalam program pendidikan regional dan sekolah staf fungsional (Dikreg/Sesfung) TNI Angkatan Laut (AL) pada 2001, dan kursus kepala penerangan di sekolah staf komando TNI AD (Suskapen-Seskoad) 2005, serta kursus atase pertahanan Badan Intelijen Strategis (Sus Athan Bais) TNI 2006 ada beberapa hal yang menyangkut perang iInformasi juga dibahas.

Perang informasi yang dikembangkan, antara lain konsep, program dan kasus-kasus mendasar dan pembahasan di lembaga pendidikan tersebut. Hanya saja, sayangnya, program tersebut tidak ditingkatkan dan berlanjut. Selain itu pergantian pucuk pimpinan TNI yang berlangsung secara periodik menyebabkan beberapa masalah tertentu, termasuk perang informasi, belum sempat tertangani secara konsisten dan tuntas, serta cenderung terabaikan.

Bagaimana pun masyarakat umum sempat tercengang ketika seorang Menteri Penerangan (Menpen) yang mantan Kasad ABRI, Jenderal TNI R. Hartono, tiba-tiba menyebut istilah perang informasi hanya beberapa hari setelah dilantik dalam posisinya itu. Fenomena ini membuktikan bahwa sebenarnya para petinggi atau fungsionaris TNI memahami benar arti informasi dan komunikasi secara luas berikut penerapannya dalam konteks militer. Mengapa seorang Hartono mengatakan hal itu tidak pada saat dirinya menjabat Kasad ABRI?

Mengapa pula kini justru LPP RRI yang berada di garis terdepan dalam soal perang informasi? Mengapa bukan TNI? Mengapa juga bukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemeninfo)? Apakah perang informasi merupakan domain TNI atau kewenangan dan tanggungjawab Kementerian Kominfo? Apa pun jawabannya, LPP RRI telah memiliki siaran yang telah mengudara di kawasan perbatasan dan daerah terpencil serta terluar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Ambil contoh, siaran LPP RRI di Batam sudah di arah dan dapat didengar oleh Tenaga Kerja Indonesia (TKI), termasuk Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang berada di Singapura hingga Johor Baru. Siaran RRI Batam yang mengudara menggunakan bahasa Inggris dan Mandarin, ternyata mampu menjangkau selera pendengar radio di Singapura dan Johor Baru.

Bahkan, pemerintah negeri seberang di mana siaran LPP RRI bisa ditangkap kini mulai “terusik” manakala RRI, yang "Sekali di Udara, Tetap di Udara", secara berkesinambungan berbahasa Melayu, Inggris dan Mandarin. Begitu juga dengan siaran perbatasan RRI dalam bahasa Inggris di Papua dan Tahuna, Sulawesi Utara (Sulut), telah mampu menjangkau pendengarnya di seberang hingga Fipilina Selatan dan Papua.

Untuk siaran di perbatasan Skow dan Oksibil, Papua, RRI bekerjasama dengan anggota TNI AD yang dilatih untuk menjadi penyiar. Upaya RRI menggandeng TNI AD merupakan upaya yang tepat dan signifikan.

Mengapa seakan Parni Hadi ingin mengingatkan bahwa ada masalah mendasar dan fenomena yang belum tertangani/ditangani oleh TNI AD perlu mulai diprogram bersama, yaitu siaran di kawasan perbatasan dan lebih lagi siaran khusus bagi daerah terpencil dan daerah terluar yang belum terjangkau pelayanan media massa nasional lainnya.

Dirut LPP RRI bahkan mengundang Kasad untuk menghadiri peresmian operasional studio produksi RRI di Atambua, Kabupaten Belu NTT, yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, negeri muda yang pernah berintegrasi dengan NKRI pada 1976 hingga memutuskan berpisah pada 1999. Namun, Kasad mendadak ada penugasan lain, sehingga menugasi meminta Danrem Wirasakti di Kupang untuk menghadiri.

Keterlibatan TNI AD dalam siaran studio produksi LPP RRI Atambua di kawasan perbatasan NTT dengan Timor Leste juga mengekspresikan sampai sejauh mana pimpinan TNI AD mengapresiasi dan memiliki persepsi terhadap siaran RRI di kawasan itu, termasuk perang informasi.

Oleh karena itu, seorang Parni Hadi tidak mengherankan dalam siaran khusus Indonesia "Menyapa dari Atambua" pada 16 September 2010 mengatakan: “Siaran RRI di kawasan perbatasan, seperti NTT dengan Timor Leste ini penting dan amat strategis, serta vital apakah dalam konteks menghapuskan kemiskinan dan isolasi informasi, tetapi juga ditujukan kepada penduduk negeri tetangga Timor Leste yang hampir 100 persen berbahasa Indonesia. Dalam program siaran khusus kawasan perbatasan RRI-lah yang menjadi panglima perang informasi."

Siaran khusus RRI di kawasan perbatasan Atambua tersebut bagi para angkasawan dan angkasawati LPP RRI merupakan satu bukti pengabdian dan kontribusinya dalam konteks perang informasi, yang mestinya juga direspon secara proporsional oleh pimpinan TNI, khususnya TNI AD sebagai program yang perlu ditata, direncanakan, secara sistematis, terpadu, komprehensif dan terukur.

Apa yang diungkap Parni Hadi semestinya memacu pimpinan TNI untuk bersama-sama jajaran RRI membuat program siaran khusus di kawasan perbatasan, daerah terpencil dan terluar dalam bingkai perang informasi untuk membela dan mempertahankan semua jengkal kedaulatan wilayah NKRI.

Vincent Mosco pada 1993 mencatat Perang Teluk Persia bagaimana pun menunjukkan kepada dunia bahwa selain penguasaan tehnologi militer dan intelijen, maka mau tidak mau mereka yang terlibat dalam perang, khususnya perang Informasi, harus memiliki atau menguasai teknologi komunikasi sekaligus harus mampu menguasai, mengendalikan dan mengatur arus pemberitaan internasional.

Sementara itu, James Adams, Chief Executive Officer (CEO)-nya kantor berita United Press International (UPI) pada 1998 menulis bahwa salah satu bentuk Perang Dunia yang berikut (The Next World War) adalah perang informasi, perang terhadap kejahatan tergorganisir, perang terhadap terorisme dan konflik antar-etnis.

Bukan berlebihan kalau dikatakan RRI menjadi Panglima Perang Informasi, karena lembaga itu bukan hanya berdiri di garis terdepan, tetapi telah terbukti terlibat dalam propaganda dan perang urat-syaraf mulai dari siaran menggelorakan Arek-arek Surabaya ketika Inggris mendompleng Belanda masuk Indonesia.

RRI pula yang menggemakan pekik kemerdekaan dalam peristiwa "Bandung Lautan Api", melakukan siaran media radio bawah tanah (clandestine radio) di bumi Irian semasa Pepera, termasuk juga operasi siaran propaganda anti-komunis pasca-Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) pada 1965.

*) Petrus Suryadi Sutrisno (piets2suryadi@yahoo.com) adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Informasi, dan Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS).

sumber kompas

Tidak ada komentar: