06 Januari 2011

Memulung Botol di Jerman

Oleh Nawa Tunggal

Demi menyelesaikan studi jenjang doktoral di Brandenburgische Technische Universität Cottbus, Jerman, dalam dua tahun terakhir Suhendra berusaha mencukupi kekurangan uangnya dengan memulung botol di Berlin. Kemandiriannya berbuah pada penguasaan kemampuan spesifik hingga menjadikan dia satu-satunya doktor dari negara lain yang dibutuhkan sebuah institusi Pemerintah Jerman.

”Saya memulung pada waktu senggang, biasanya sehabis subuh agar tak ketahuan orang (Indonesia),” kata Suhendra, salah seorang peserta International Summit 2010 Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4), 16-18 Desember 2010, di Jakarta.

Ia memulung botol bekas wadah minuman di stasiun pemberhentian kereta api, terminal bus, dan bandara. Satu botol bekas minuman air mineral dihargai 25 sen euro. Sementara botol bekas minuman berkarbonasi dihargai 15 sen euro.

Untuk menguangkan botol-botol itu, ia membawanya ke mesin otomatis yang ada di stasiun kereta api. Sabtu dan Minggu merupakan hari penuh berkah karena botol bekas relatif berlimpah. Dalam sehari dia bisa mendapatkan 40-50 botol.

”Mesin-mesin otomatis itu seperti ATM. Botol yang saya masukkan diganti voucher yang bisa ditukar dengan uang,” kata Suhendra yang memulung tahun 2004-2006, saat mengambil doktor bidang environmental safety for petroleum project (sistem keamanan lingkungan untuk industri tambang minyak).

Hasil memulung memang tak cukup untuk membayar sewa apartemen, biaya makan, dan asuransi. Suhendra pun bekerja paruh waktu di pabrik cokelat. ”Pekerjaan saya di bidang perawatan. Tetapi, itu sesungguhnya pekerjaan bersih-bersih lantai dan mesin pabrik.”

Suhendra menikahi Dewi Yuniasih tahun 1999, dan mulai 2002 istrinya juga menetap di Jerman. Kini Dewi masih menuntaskan program studi kedokteran di Humboldt University of Berlin.

Keahlian spesifik

Suhendra menempuh studi S-1 di Universitas Diponegoro, dan lulus di bidang teknik kimia. Ia melanjutkan S-2 di Institut Teknologi Bandung dan mendapat beasiswa program master double degree di Brandenburgische Technische Universität (BTU) untuk periode 2000-2002. Jenjang studi S-2 dia selesaikan setahun di ITB dan setahun di BTU.

”Program master saya di Jerman dengan riset industri bidang teknik kimia di Max Planck Institute (MPI),” katanya.

Di MPI, dia meneliti penentuan kinetik pada reaksi kimia. Ini lalu jadi keahlian spesifik Suhendra. Aplikasinya pada reaksi eksplosif pada metal. Ia melanjutkan studi S-3 di tempat sama tahun 2002-2006. Selama 2002-2004 ia memperoleh beasiswa, tetapi dua tahun berikutnya harus biaya sendiri.

Tahun 2006, ia menuntaskan studi dengan hasil penelitian kerangka kerja untuk penilaian kondisi minyak yang aman serta ramah lingkungan. ”Berupa parameter untuk kerangka kerja dan indikator operasi kilang minyak yang aman dan ramah lingkungan,” kata Suhendra yang mendapatkan ijazahnya pada Februari 2007.

Dia lalu melamar kerja di Badan Penelitian Jerman, Federal Institute for Materials Research and Testing (Bundesanstalt für Materialforschung und-prüfung/BAM) di Berlin. Ini seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), tetapi di bawah Kementerian Ekonomi dan Teknologi Jerman.

”Ada slogan menarik di lembaga ini,” katanya. Kira-kira demikian, ”Alokasikan uang yang banyak untuk riset, maka riset akan memberikan uang yang lebih banyak.”

Pada April 2007, setelah melalui verifikasi dinas ketenagakerjaan setempat, dia diterima di BAM. ”Kemungkinan saya diterima di BAM karena keahlian spesifik untuk bidang material eksplosif. Latar belakang keilmuan saya sesuai dengan yang dicari,” katanya.

Di lingkup kerja BAM, Suhendra mengerjakan model simulasi matematik untuk kebakaran tambang batu bara bawah tanah. Ia mengembangkan pula model simulasi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan tambang batu bara bawah tanah.

”Saya mengembangkan simulasi kecepatan perambatan api pada tambang batu bara bawah tanah,” ujarnya. Keberhasilan itu mengantar Suhendra memimpin kerja sama Jerman-China pada 2008 di bidang penanganan kebakaran tambang batu bara bawah tanah di China.

”Korban sekitar 6.000 jiwa per tahun terjadi di China akibat kebakaran tambang batu bara. Saya diserahi proyek untuk kerja sama penanganan masalah ini,” katanya.

Dia pun banyak hadir dalam forum ilmiah China untuk menyebarkan ilmu penanganan dan pencegahan kebakaran tambang batu bara bawah tanah. Belakangan, Suhendra beranjak pada kegiatan urban minning yang secara harfiah bisa diartikan menambang di kawasan urban atau kota.

Menambang di kota

Menambang di kota tak ubahnya dengan kegiatan memulung, yaitu menghasilkan uang dari limbah yang terbuang. Menurut Suhendra, konsep urban minning tak sesederhana proses daur ulang. Urban minning mempersyaratkan teknologi lebih rumit dibandingkan dengan sekadar proses daur ulang.

Ia mencontohkan bagaimana memulihkan komponen vital dan paling berbahaya kadmium bagi lingkungan dari proses industri sel surya. ”Di Uni Eropa, urban minning memanfaatkan pula limbah logam seperti aluminium dan besi, juga kegiatan produksi fosfor dari limbah kotoran manusia.”

Pada 2008 Uni Eropa sempat kekurangan fosfor untuk bahan utama pupuk. Suhendra lalu mengembangkan rekayasa pengolahan limbah kotoran manusia secara lebih optimal untuk meningkatkan produksi fosfor.

Seperti di Jerman, limbah kotoran manusia disalurkan ke sebuah penampungan. Ini memudahkan pengolahannya. Limbah juga dijadikan biogas.

Tahun 2009, BAM menugasinya memimpin proyek Sustainable and Safe Re-use of Municipal Sewage Sludge for Nutrient Recovery (Susan). Ini proyek penanganan berbagai limbah industri di kota, yang juga bisa diimplementasikan di Indonesia yang sumbernya berlimpah.



Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2011/01/05/03242462/memulung.botol.di.jerman

03 Januari 2011

RI Negara Perekonomian 18 Besar Dunia


Indonesia saat ini dikatakan adalah negara perekonomian 18 besar dunia dengan nilai produk domestik bruto lebih dari 700 miliar dollar AS. Seluruh indikator ekonomi makro pada 2010 dinilai semakin stabil dan kokoh. Cadangan devisa pada Desember ini mencapai 94,7 miliar dollar AS. Sementara itu, nilai ekspor mencapai nilai tertinggi, yaitu 150 miliar dollar AS.

Demikian disampaikan Ketua Umum PAN Hatta Rajasa, yang juga Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Rakyat, pada acara pidato awal tahun 2011 di Rumah PAN, Jakarta, Minggu (2/1/2010). "Mungkin kita masih ada yang belum menyadari bahwa kita adalah negara perekonomian 18 besar di dunia. Kita sudah menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia," kata Hatta.

Hatta juga sempat memaparkan secara singkat prestasi pemerintah pada 2010. "World Economic Forum dalam laporannya yang bertajuk Global Competitiveness Report menaikkan peringkat daya saing Indonesia ... Indonesia telah berhasil mencapai peningkatan pola pembangunan ekonomi, dari factor driven economy atau tatanan pembangunan ekonomi yang berbasis bahan baku, menjadi efficiency driven economy atau tatanan pembangunan ekonomi negara-negara maju yang makin ditopang efisiensi, daya saing dan pemanfaatan progresif ilmu pengetahuan dan teknologi," katanya.

"The Economist bulan Desember 2010 pada artikel bertajuk The World 2011 menyatakan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi baru yang memiliki perspektif perekonomian yang baik. Hal ini karena prestasi perekonomian yang tetap baik di kala dunia mengalami krisis. Indonesia diproyeksikan menjadi kekuatan unggulan dunia atau world leading economies di kurun waktu beberapa tahun mendatang," sambungnya.

Sementara itu di ranah politik dan demokrasi, majalah politik terkemuka, Foreign Policy, pada edisi Desember 2010, menyatakan, kemajuan dan stabilitas politik Indonesia di semua ranah pembangunan dapat menjadi modal bagi Indonesia untuk menjadi negara superpower demokrasi dunia dalam beberapa tahun mendatang.

02 Januari 2011

Susu Anti Flu Burung dari Bogor

Memadukan susu dan telur ayam, Rahmat Hidayat menemukan susu anti diare dan flu burung.

Dalam setahun terakhir, ada kesibukan tak biasa di laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan di Institut Pertanian Bogor (IPB). Bersama timnya, Rahmat Hidayat menggeluti riset yang sangat berguna bagi anak-anak, dan kaum lanjut usia. Peneliti itu sedang meracik bahan susu formula baru.

Susu formula itu akan menjadi penangkal diare, sekaligus anti flu burung, dua jenis penyakit yang terus menghantui masyarakat Indonesia. Dalam setahun, Rahmat berhasil menemukan Imunoglobulin Yolk dari kuning telor, yang tak mengubah rasa, warna dan bau susu. "Formula itu bisa mencegah dua jenis diare yakni akibat bakteri Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis," kata Rahmat, kepada VIVAnews di Bogor, Kamis 23 Desember 2010.

Bagi Rahmat, susu dan telur ayam adalah dua elemen pokok penelitiannya. Selain sebagai sumber protein hewani yang sangat bermanfaat bagi daya tahan tubuh, susu dan telur ayam bisa menjadi perpaduan ampuh menangkal penyakit yang membuat banyak orang cemas, yaitu flu burung dan diare.

"Penyakit flu burung masih menjadi ancaman di banyak negara, termasuk Indonesia. Diare pun sering menyerang masyarakat di negeri ini," ujar Rahmat dalam perbincangan ruang kerjanya. Pria kelahiran Sumatra Utara 31 tahun lalu itu adalah dosen Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) IPB, dengan spesialisasi Penyakit Hewan dan Mikrobiologi Medik.

Sejak 2009, Rahmat memimpin tim dari FKH-IPB untuk meneliti formula anti-flu burung dan anti-diare. Hasil penelitian mereka pada tahun pertama, ungkap Rahmat adalah memproduksi Imunoglobulin Yolk (Ig Y) anti flu burung, dan anti diare yang dibuat dalam tiga rupa, yaitu spray dry kuning telur, freezer dry kuning telur, dan ekstrak murni.

Produksi Ig Y diawali dengan perlakuan pada ayam petelur berupa vaksinasi sebanyak empat kali selama empat minggu. “Vaksin yang digunakan berupa H5N1 pada minggu pertama dan ketiga, sedangkan Escherichia coli dan Salmonella enteritidis digunakan setiap minggu,” kata Rahmat.

Selanjutnya, serum dan kuning telur dikoleksi dan diperiksa keberadaan Ig Y anti ketiga agen tersebut sejak minggu pertama pasca vaksinasi terakhir. Metode pemeriksaan untukE coli dan S enteritidis adalah Agar Gel Presipitation Test (AGPT) sedangkan H5N1 metode Haemegglutination Inhibition (HI).

”Kami berkeyakinan formulasi susu itu sudah teruji, dan terdeteksi dapat mencegah flu burung dan diare (E coli dan S enteritidis). Jadi semacam imunisasi vaksin atau vaksin pasif,” ujar Rahmat.

Penemuan ini adalah terbaru, dan belum ada peneliti di Indonesia berhasil menemukan susu formula anti-flu burung sekaligus anti-diare. "Formula ini berguna menghadapi tiga jenis kuman, yaitu H5N1, Escherichia coli, dan Salmonella enteritidis, menyebabkan sering terjadi diare," kata Rahmat.

Rahmat Hidayat dengan Ig Y anti-flu burung dan anti-diare yang dicampur ke susu

Menurut Rahmat, formula temuan timnya itu tak hanya diperuntukkan untuk anak-anak. Manusia lanjut usia [manula] bisa merasakan manfaat racikan susu formula itu. Seperti kondisi anak-anak, daya tahan tubuh mereka tergolong lemah, sehingga rentan dengan kuman penyakit.

“Jadi susu formula hasil temuan ini, sangat berguna untuk anak – anak maupun manula,” kata Rahmat. Melalui penelitiannya, Rahmat ingin mendorong masyarakat Indonesia menyadari pentingnya minum susu. ”Selama ini masyarakat Indonesia masih sangat rendah untuk mengkonsumsi susu dibandingkan dengan negara lain,” kata Rahmat.

***

Namun, penelitian Rahmat bukan tanpa halangan. Kendala dia dan timnya hadapi adalah mencari ayam yang cocok bagi kepentingan riset, dengan jumlah yang memadai sebagai pabrik biologis menghasilkan Ig Y. Dalam produksi Ig Y bisa saja ayam yang diproduksi berbeda, karena kondisi ayam bahan riset berbeda satu dengan lainnya. ”Sehingga, kami sangat kesulitan mencari ayam yang tidak berbeda,” kata Rahmat.

Selain itu, kemampuan hasil riset sangat tergantung pada varian flu burung yang digunakan untuk memproduksi Ig Y. Untuk saat ini Rahmat baru meneliti flu burung varian H5N1. Namun, penelitian terhadap flu burung varian lain, seperti H5N2, H7N2, H7N3, H5, dan H7 juga sangat memungkinkan. "Secara ilmiah, semua [varian] sangat memungkinkan, tapi masih perlu penelitian lebih lanjut," kata Rahmat.

Ia menambahkan, Ig Y sudah diujikan kepada tikus, yang merupakan mahluk mamalia, sama seperti manusia. Namun, kata dia, pada tahun 2011 pihaknya akan berusaha membuktikan hasil temuannya ini cocok terhadap manusia.

”Mudah-mudahan pada tahun 2011, kita akan gunakan relawan manusia menguji formula baru,”tutur suami dari Arum Kusniladewi itu.

Kendati menemui halangan, Rahmat bertekad hasil penelitian timnya itu bisa diterapkan dalam produksi susu bubuk pada 2011. Setelah itu, Rahmat akan mengembangkan formula produksi susu cair, yang selama ini banyak dikonsumsi anak-anak.

“Kami akan memformulasikan susu anak-anak yang dijual per kotak dan saset. Karena, anak-anak lebih suka susu formula dalam bentuk cair yang siap minum,” kata Rahmat.

Ia berharap, penelitian lanjutan itu didukung pihak swasta. ”Sampai saat ini, pihak lain tertarik baru sebatas lisan, dan memang penelitiannya masih terus berlanjut. Jadi, untuk saat ini belum saatnya dikomersilkan kepada masyarakat umum. Kami masih harus menguji lebih lanjut," kata Rahmat.

(Laporan: Ayatullah Humaeni | Bogor/ np)


• VIVAnews

Jantung Fuel Cell dari Thamrin

Jarum pendek di jam dinding belum lagi menyentuh angka tiga. Namun kesibukan di pojok lantai 22 Gedung II BPPT Jakarta, sore itu, cukup menyita perhatian.

Kurir dari sebuah restoran mengantarkan puluhan kotak hidangan. Dari balik salah satu kubikal tak begitu besar, seorang perempuan berjilbab sigap menerima pesanan itu.

Dia adalah Dr Eng Eniya Listiani Dewi, peneliti madya pada Pusat Teknologi Material, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Perempuan itu akrab disapa Dewi. Pada pukul 16.00 WIB hari itu, dia harus membawa kotak-kotak tadi ke bus kantor, yang akan mengantarnya pulang ke Bogor.

“Makanan ini saya pesan untuk teman-teman satu bus. Mereka meminta saya mentraktir,” ujar Dewi kepada VIVAnews, saat ditemui di kantornya Rabu, 22 Desember 2010.

Dewi merayakan keberhasilannya meraih penghargaan Habibie Award 2010, pada akhir November lalu. Dewi, 36 tahun, adalah ilmuwan termuda penerima penghargaan yang diadakan pertama kali sejak 1999 itu.

Penghargaan tadi diterima atas konsistensinya mengembangkan fuel cell, sumber listrik alternatif bersih dan ramah lingkungan. “Fuel cell pilihan sangat tepat, saat concern kita saat ini mengurangi efek pemanasan global,” kata Dewi.

***

Fuel cell adalah sel elektrokimia semacam baterai atau aki, yang dapat mengkonversi sumber bahan bakar (bisa berupa hidrogen atau hidrokarbon) menjadi listrik arus searah (DC). Fuel cell bisa digunakan menyuplai listrik rumah tangga, mobil, motor, dan lain sebagainya.

Tak seperti pembangkit listrik lain yang berisik, dan menyebabkan emisi karbon, fuel cell sama sekali tak bersuara, dan limbahnya pun hanya air murni. Bila baterai dan aki hanya menyimpan listrik dan bisa kehabisan energi, fuel cell bisa terus bekerja, selama aliran bahan bakar dan oksidannya bisa terus dijaga.

Biasanya sebuah fuel cell terdiri dari katalisator, elektroda, dan membran elektrolit sebagai jantung dari fuel cell. Oleh katalisator platina, bahan bakar hidrogen akan dipisahkan menjadi ion bermuatan positif, dan elektron bermuatan negatif.

Kemudian, di anoda, ion positif akan dialirkan oleh membran elektrolit, menuju katoda. Namun, membran akan menahan elektron tetap berada di anoda. Elektron itu, nantinya akan dialirkan menyalakan berbagai jenis beban listrik

***

Eniya Listiani Dewi sedang menyusun fuel cell Menempuh studi S1 hingga S3 di Waseda University Tokyo Jepang, Dewi memilih bidang Kimia Terapan, dan mendalami studi tentang polimer dan katalis untuk fuel cell. Penemuannya terhadap katalis fuel cell baru yang menggunakan unsur Vanadium, membuatnya mendapat penghargaan Mizuno Award, danKoukenkai Award dari universitasnya, pada 2003.

Katalis yang selama ini digunakan, katalis platina, biasanya membutuhkan dua kali tahapan untuk menghasilkan listrik, juga melalui proses sangat kompleks. Sementara, dengan katalis Vanadium, proses pembangkitan listrik menjadi lebih simpel (hanya melalui satu tahap), dengan kuantitas elektron tertransfer yang lebih banyak.

Setelah menggondol gelar Doctor of Engineering dari Waseda University, Dewi pulang ke Indonesia. Dia lalu bergabung dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Pertama kali datang, Dewi sempat syok menghadapi kultur kerja yang begitu lamban. “Di sini banyak yang leha-leha. Itu bikin stress.” Padahal, ia biasa kerja cepat, terencana dengan target.

Dengan fasilitas seadanya, ia mengemban tanggung jawab melakukan riset pengembangan material polimer untuk aplikasi fuel cell. Ketiadaan lab mengharuskan Dewi melakukan berbagai percobaan kimia untuk menghasilkan polimer di meja kecil di belakang tempat duduknya.

Reaksi-reaksi kimia dalam percobaan Dewi, kerap menghasilkan bau menyengat ke seluruh ruangan sehingga mengganggu para peneliti dari kubikal kerja lain. “Huuu bauuu… bauuu…,” begitu biasanya Dewi disoraki. Akhirnya Dewi menuntut fasilitas lab kepada Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material, Marzan Iskandar (sekarangi Kepala BPPT).

Oleh bosnya, Dewi diberi ruangan lab di kompleks Puspiptek Serpong. Dari lab itulah Dewi kelak menelurkan karya lainnya, yang meraih beragam penghargaan. Dewi ditargetkan untuk bisa menggantikan berbagai komponen Fuel Cell yang selama ini musti diimpor.

Saat itu, kasing logam dan grafit separator sudah ada, tapi membran, katalis, dan elektroda (anoda dan katoda) semuanya masih diimpor. Tentu harganya pun sangat mahal. Akhirnya, Dewi berhasil membuat prototipe fuel cell dengan membran elektrolit polimer tunggal, yang semua komponennya didapat dari dalam negeri. “Kami memanfaatkan industri lokal untuk menyediakan bahan bakunya.”

Berkat kerja kerasnya ini, wanita kelahiran Magelang, 14 Juni 1974, itu mendapat penghargaan Adikara Rekayasa Engineering PII-Engineering Award pada 2006. Di tahun sama, prototipe itu lalu juga mendapat penghargaan ‘ASEAN Outstanding Engineering Achievement Award’ dari Asia Federation Engineering Organization (AFEO).

Generator hidrogen & prototipe motor listrik fuel cell buatan Dewi & timnya.

Dewi juga sempat membuat prototipe motor listrik fuel cell, bahkan membuat reaktor pembuat gas hidrogen (bahan bakar fuel cell), yang dihasilkan dari berbagai bahan baku yang mudah dijumpai di sini, seperti kelapa sawit, atau singkong. Reaktor ini lalu juga meraih penghargaan Ristek-Medco Energy Award 2008, dari Kementrian Riset dan teknologi.

***

Yang paling mutakhir adalah hasil penelitian Dewi yang melahirkan sebuah produk membran polimer untuk fuel cell yang lebih efisien dari membran yang tersedia di pasaran. Produk membran itu dia namakan ThamriON. Produk itu punya efisiensi lebih baik, karena mampu mengurangi kebocoran hingga 50 persen.

Sementara dari sisi harga, Thamrion jauh lebih bersaing. Bila membran Nafion besutan perusahaan kimia ketiga terbesar dunia, DuPont, dijual sekitar US$ 1000 atau sekitar Rp 9 juta per meter persegi, ThamriOn hanya dibanderol Rp 2000 per meter persegi. Nama ThamriON sendiri merupakan gabungan dari kata ‘Thamrin’ dan ‘Ion’, dipilih untuk mengabadikan alamat kantor Dewi, Gedung BPPT yang terletak di Jl MH Thamrin Jakarta Pusat.

Membran polimer fuel cell ThamriON

Membran itu mulai dikembangkan sejak 2006, dapat dibuat dari plastik Acrylonitrile Butadiene Styrene yang bersifat isolator. Polimer itu kemudian disulfunasi dengan asam sulfat, sehingga bisa disulap menjadi bahan konduktor. Dengan menambahkan bahan tadi dengan nanopartikel, ThamriON dapat menjadi membran fuel cell yang sangat efisien.

Belakangan, metode penambahan nanopartikel itu berhasil meraih penghargaan Asia Excellence Award dari The Society of Polymer Science Japan (SPSJ) pada 2009. Tahun berikutnya, ThamriON dipatenkan, dan berhasil menyabet penghargaan Inovasi HKI 2010 Award dari Direktorat Jendral HKI.

Seiring berbagai penghargaan diraihnya, perhatian BPPT terhadap pengembangan fuel cell dan bahan bakar hidrogen pun makin besar.

Bila di tahun-tahun pertama, proyek riset dan pengembangan fuel cell masih berskala kecil, jumlah tim dan bujet dana terbatas, anggaran riset berikutnya bisa sepuluh kali lipat lebih besar. Para peneliti yang disertakan kian banyak, dan lintas bidang.

“Fuel cell memang kajian yang membutuhkan keahlian dari beragam latar belakang,” kata istri dari Wahyu Widada itu. Dari sisi manufaktur, diperlukan keahlian di bidang teknik mesin. Dari sisi kontrol dibutuhkan keahlian di bidang teknik elektro, sementara proses kimianya sendiri membutuhkan keahlian di bidang teknik kimia.

Sekarang, BPPT telah bersiap meningkatkan penelitian fuel cell dari skala kebutuhan energi rumah tangga ke fuel cell yang mampu beroperasi di suhu tinggi dengan skala yang lebih besar.

***

Sebelum mengenal fuel cell, Dewi memang punya kepedulian besar kepada lingkungan. Saat pelajaran mengarang di SMA, secara tak sadar, tema-tema yang dipilihnya berkaitan dengan lingkungan.

“Misalnya saja tema-tema bagaimana menjaga lingkungan atau mengatasi masalah sampah,” kenang ibu dari Ibrahim Muhammad, Nashita Saaliha, dan Nashira Saaliha itu. Selain itu Dewi juga menyukai kegiatan-kegiatan seperti daur ulang atau pembuatan kompos dari sampah.

Saat melanjutkan studi S3 di Jepang, Dewi mendapatkan fellowship sebagai Special Researcher of Young Scientist for the Promotion of Science dari Japan Science Technology. Di sana ia mendapatkan bimbingan dari seorang profesor yang kemudian makin membuatnya tertarik dengan fuel cell.

Dewi menyimpan harapan, suatu saat generator fuel cell bisa masuk ke rumah-rumah. Seperti halnya di Fukuoka Jepang. Di sana, listrik ribuan rumah telah disuplai oleh fuel cell. Bila aliran listrik dari perusahaan listrik di sana hanya memiliki efisiensi 30 persen, fuel cell bisa menyuplai listrik dengan efisiensi mencapai 80 persen.

Tak hanya itu, pemerintahan mereka juga memfasilitasi warganya yang ingin memanfaatkan fuel cell. Bagi yang ingin membeli generator fuel cell buatan Toshiba yang dijual seharga Rp 160 juta bisa diperoleh dengan subsidi sebesar 50 persen dari pemerintah Jepang. “Di luar negeri, mereka yang menggunakan fuel cell dipandang sebagai orang-orang berstatus sosial bergengsi,” kata Dewi.

Wajar bila kemudian ia berkeinginan menyampaikan teknologi ramah lingkungan ini ke banyak orang. Untuk itu, Dewi menciptakan sebuah kit mainan yang bisa mendemonstrasikan cara kerja fuel cell. Tentunya, semua dia lakukan untuk mewariskan bumi yang lebih baik bagi generasi mendatang.(np)


• VIVAnews

Obsesi Star Trek dan Janji Johny

Jakarta - Heidelberg - Chile, adalah jalur penting bagi Johny Setiawan. Tiga titik lokasi yang masing-masing berjarak sekitar 11.000 km dan membujur dari ujung tenggara Asia, Eropa, hingga ke selatan Amerika itu, seakan membentuk segitiga sama kaki imajiner yang mengabadikan perjalanan hidupnya.

Johny, 36 tahun, besar di Bintaro Jakarta Selatan. Sejak 2003 menjadi peneliti di Max-Planck Institute for Astronomy di Heidelberg, Baden-Württemberg, Jerman. Profesinya sebagai astronom menuntutnya untuk sering melakukan kegiatan pengamatan dari ketinggian 2400 m di tengah gurun terpencil bersuhu ekstrim, di Observatorium La Silla Chile, yang merupakan salah satu observatorium terbesar dunia di belahan bumi bagian selatan.

Namun, kiprah Johny di negeri orang membuatnya kini begitu kondang di kancah astronomi internasional. Bila Anda ketik nama 'Johny Setiawan' di mesin telusur internet, indeks hasil pencarian akan memunculkan nama Johny di berbagai artikel media besar, mulai dariTime, New York Times, BBC, National Geographic, atau Space.com.

Sebagai seorang ilmuwan, penemuan Johny juga telah dipublikasikan di berbagai jurnal bergengsi. Sebut saja Science, Nature, maupunAstronomy and Astrophysics. Ia adalah astronom Indonesia yang telah banyak menemukan planet berasal dari luar sistem tata surya kita (exoplanet), mulai dari planet bernama HD 47536 b, HD 11977 b, HD 47536 c, HD 70573 b, HD 110014 b, hingga TW Hydrae b.

Di luar Bimasakti

Belakangan, November lalu, Johny dan tim yang ia pimpin, mempublikasikan hasil temuan planet yang tak hanya berasal dari luar sistem tata surya, tapi bahkan diperkirakan berasal dari luar galaksi Bima Sakti.

Planet itu diberi nama HIP 13044 b. Diperkirakan, itu adalah planet yang masih tersisa dari fosil galaksi lain yang telah punah, yakni fosil galaksi Helmi Stream, yang tersedot ke galaksi Bima Sakti antara 6-9 miliar tahun lalu, dan berada di sebelah selatan konstelasi Fornax.

Johny dan timnya berhasil menemukan planet ini menggunakan spektografi beresolusi tinggi FEROS, pada teleskop MPG/ ESO yang bergaris tengah 2.2 m di observatorium La Silla Chile. Dengan mengamati pergerakan radial bintang HIP 13044, diperkirakan planet HIP 13044 b mengitari bintang induknya itu dengan periode orbit 16,2 hari.

Planet yang jaraknya 2000 tahun cahaya dari bumi itu, masih bertahan hidup, di saat bintang induknya memasuki fase penuaan, atau dikenal dengan fase 'bintang raksasa merah'.

Fase ini ditandai dengan pendinginan bintang, dan mekarnya ukuran bintang itu menjadi ratusan kali lipat dari radius matahari. Oleh karenanya, bintang tua itu akan menarik, dan membakar planet-planet yang berada di sekelilingnya.

Planet temuan Johny sendiri diperkirakan tak akan bisa terus bertahan hidup. Kini, planet yang punya massa 1,25 kali massa Jupiter itu, memiliki jarak dengan bintang induknya, yang hanya 12 persen dari jarak bumi dan matahari. Johny memperkirakan pada tahap berikutnya, bintang HIP 13044 akan kembali mekar, dan kemungkinan juga akan menelan planet HIP 13044 b.

Galaksi Bima Sakti dan Matahari, dalam perhitungan Johny, juga akan mengalami fase sama sekitar 5 miliar tahun mendatang. Saat itulah, planet-planet dalam seperti Merkurius, Venus, termasuk Bumi, akan dilalap oleh matahari. Sementara Jupiter, Saturnus, dan planet-planet luar lain juga akan terus bergerak mendekat Matahari.

Hal lain yang cukup mengejutkan dari hasil riset tim selama enam bulan itu, bintang induk HIP 13044, yang diperkirakan mengandung hidrogen, dan helium, serta miskin kandungan logam, ternyata bisa memiliki planet. Padahal, teori formasi planet mensyaratkan adanya kandungan logam dan elemen berat yang cukup untuk bisa menarik gas untuk bisa tumbuh berkembang.

"Nampaknya ada beberapa hal yang perlu diubah dalam teori proses formasi planet. Penemuan ini jelas menguji 'kemantapan' pendapat bahwa bintang berkandungan logam rendah tak dapat punya planet," ujar Johny kepada VIVAnews melalui surat elektroniknya. Oleh karenanya, Johny sendiri kaget dengan hasil temuan timnya.

Setidaknya bukan cuma Johny yang terkejut dengan penemuan ini. Alan Boss, seorang pakar pembentukan planet dari Carnegie Institution for Science di Washington D.C., mengatakan bahwa penemuan ini adalah sebuah 'kabar besar', karena ini merupakan sebuah anomali.

"Planet ini ... sepertinya tak terbentuk melalui mekanisme konvensional yaitu melalui inti masif batuan dan es yang lalu menarik gas-gas untuk membentuk sebuah planet," kata Boss, yang tak terlibat penelitian ini, kepada National Geographic.

Star Trek

Jika Anda berjumpa Johny, mungkin Anda tak akan mengira bahwa dia seorang astronom. Postur tubuhnya atletis. Dia memang gemar body building. Potongan rambutnya cepak. Tak tampak gaya seorang peneliti pada dirinya, apalagi pengamat luar angkasa profesional.

Astronom RI Johny Setiawan di Observatorium La Silla Chile

Tapi, Johny sudah lama bercita-cita jadi astronom. Sejak kecil, ayahnya sering mengajaknya melihat bintang di angkasa. Pada usia empat tahun, Johny terkesan dengan film fiksi ilmiah besutan Gene Roddenbery, Star Trek, yang menggambarkan eksplorasi manusia ke luar angkasa.

Obsesi Johny membawanya mengambil studi S1 di jurusan Fisika di University of Freiburg Jerman, kemudian S2 dan S3 di University of Freiburg dan Kiepenheuer Institute for Solar Physycs. Ia berhasil menyabet gelar Doktor dengan predikat Magna Cum Laude, sekaligus melempangkan jalannya bergabung dengan Max-Planck Institute for Astronomy di Heidelberg.

Walau terkesan lancar dalam meniti karirnya, namun pekerjaannya bukan tanpa hambatan. Selama lebih dari 18 tahun, banyak suka duka yang mewarnai kegiatan kuliah dan bekerja di Jerman.

Yang terberat bagi Johny adalah saat ia musti tinggal berminggu-minggu di observatorium La Silla Chile di lingkungan gurun Atacama yang merupakan salah satu gurun paling kering di dunia. "Aktivitas itu membutuhkan stamina tinggi, apalagi di musim dingin," Johny menjelaskan.

Setidaknya, tuntutan pekerjaannya membuat Johny mampu berkomunikasi dalam lima bahasa: Inggris, Jerman, Spanyol, Perancis, dan tentu saja Indonesia. Bakat melukis Johny pun tersalurkan.

Johny yang belajar melukis secara otodidak, mengabadikan planet-planet yang ia temukan ke dalam lukisannya. Karya-karya lukisan Johny sempat dimuat di New York Times dan National Geographic. Johny juga mendalami videografi sambil mendokumentasikan perjalanan serta aktivitas kerjanya.

Planet serupa bumi

Di luar itu, beragam penemuan Johny, ternyata didasari oleh satu keyakinan bahwa adahabitable planet (planet yang bisa dihuni manusia) yang serupa dengan bumi. Johny juga membuka kemungkinan adanya kehidupan lain selain manusia di jagad semesta ini.

"Saya sangat yakin dengan keberadaan planet-planet habitable serupa bumi karena memang secara statistik, mereka mudah terbentuk dan seharusnya jumlahnya banyak," kata Johny. Tinggal seberapa cepat manusia bisa meningkatkan teknologi untuk menemukan planet-planet tersebut.

Lukisan Johny Setiawan yang menggambarkan eksoplanet dan bintang induknya

Kendati masih memicu perdebatan, beberapa waktu lalu para peneliti berhasil menemukan planet serupa bumi yang dinamakan Zarmina. Dalam waktu kurang dari 20 tahun, kata Johny, ia yakin manusia akan mengetahui lebih banyak lagi keberadaan planet serupa bumi.

Dengan segenap pencapaian, dia merasa telah memenuhi obsesi pribadinya sebagai seorang astronom. Tapi, seperti halnya spirit eksplorasi pesawat Enterprise pada film Star Trek, Johny berjanji masih akan terus menyiapkan serangkaian penelitian berikutnya.

Antara lain studi tentang sistem bintang ganda atau majemuk. Atau kelanjutan dari riset terakhir: mempelajari apakah planet bisa terus bertahan hingga proses evolusi bintang induknya yang memasuki pada tahap akhir.

"Kami ingin mengetahui apakah saat bintang berubah menjadi bintang kerdil putih (white dwarf), planet-planet yang mengelilinginya masih bisa bertahan atau tidak. Atau, jika sudah punah, apakah ternyata bisa terbentuk kembali atau tidak," kata Johny.

Meski belum berniat pulang ke Indonesia dalam waktu dekat, Johny ingin menulis buku astronomi untuk anak-anak sekolah. Dia ingin berkontribusi bagi perkembangan astronomi Indonesia. "Saya ingin sekali membuat observatorium di Indonesia," kata Johny. (np)


• VIVAnews